Rabu, 20 April 2016

Wanita Dalam Islam




Kami  ingin  mengetahui  hukum  boleh   tidaknya   laki-laki
memandang  perempuan,  malah  lebih  khusus  lagi, perempuan
memandang  laki-laki  Sebab,  kami  pernah  mendengar   dari
seorang  penceramah  bahwa  wanita itu tidak boleh memandang
laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah
tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.




Pertama,  bahwa  Nabi  saw. pernah bertanya kepada putrinya,
Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah
menjawab,  "janganlah  ia memandang laki-laki dan jangan ada
laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi  saw.  menciumnya
seraya  berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan
dari yang lain).1

Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya  pernah
berada  di  sisi  Rasulullah  saw. dan di sebelah beliau ada
Maimunah,  kemudian  Ibnu  Ummi  Maktum  datang   menghadap.
Peristiwa  ini  terjadi setelah kami diperintahkan berhijab.
Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah  kalian  daripadanya!"
Lalu   kami   berkata,   "Wahai   Rasulullah,  bukankah  dia
tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab,
"Apakah  kalian  juga  tuna  netra?"  Bukankah  kalian dapat
melihatnya?" (HR Abu Daud dan  Tirmidzi.  Beliau  (Tirmidzi)
berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2

Pertanyaan  saya,  bagaimana  mungkin  wanita  tidak melihat
laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih  pada
zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih
dan apa maksudnya?

Saya harap Ustadz tidak mengabaikan  surat  saya,  dan  saya
mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah
ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang
terus  saja  memperdebatkan  masalah  ini  dengan  tidak ada
ujungnya.

Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.

JAWABAN

Allah menciptakan seluruh makhluk hidup  berpasang-pasangan,
bahkan  menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan,
sebagaimana firman-Nya:

"Maha Suci  Allah  yang  telah  menciptakan  pasang-pasangan
semuanya,  baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun  dari  apa  yang  tidak  mereka  ketahui"
(Yasin: 36)

"Dan  segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)

Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini,
manusia  diciptakan  berpasang-pasangan,  terdiri dari jenis
laki-laki dan perempuan, sehingga  kehidupan  manusia  dapat
berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik
antara satu jenis dengan jenis lain,  sebagai  fitrah  Allah
untuk manusia.

Setelah  menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk
Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya,
begitu  pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab,
secara hukum fitrah, tidak mungkin ia  (Adam)  dapat  merasa
bahagia  jika  hanya  seorang  diri, walaupun dalam surga ia
dapat makan minum secara leluasa.

Seperti telah saya  singgung  di  muka  bahwa  taklif  ilahi
(tugas  dari  Allah)  yang  pertama  adalah ditujukan kepada
kedua orang ini sekaligus secara  bersama-sama,  yakni  Adam
dan istrinya:

"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang  banyak  lagi  baik  dimana
saja  yang  kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan  kamu  termasuk  orang-orang  yang  zalim."
(al-Baqarah: 35)

Maka  hiduplah  mereka  didalam surga bersama-sama, kemudian
memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat  kepada  Allah
bersama-sama,  turun  ke  bumi bersama-sama, dan mendapatkan
taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:

"Allah  beffirman,   Turunlah   kamu   berdua   dari   surga
bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka  jika  datang  kepadamu  petunjuk  dari-Ku,  lalu
barangsiapa  yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)

Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki  selalu
membutuhkan  perempuan,  tidak  dapat  tidak;  dan perempuan
selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat  tidak.  "Sebagian
kamu  adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas
keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.

Karena itu, tidaklah  dapat  dibayangkan  seorang  laki-laki
akan  hidup  sendirian,  jauh  dari perempuan, tidak melihat
perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah
keluar  dari  keseimbangan  fitrah  dan  menjauhi kehidupan,
sebagaimana cara hidup kependetaan yang  dibikin-bikin  kaum
Nasrani.  Mereka  adakan  ikatan  yang sangat ketat terhadap
diri mereka dalam kependetaan ini  yang  tidak  diakui  oleh
fitrah  yang  sehat  dan syariat yang lulus, sehingga mereka
lari dari  perempuan,  meskipun  mahramnya  sendiri,  ibunya
sendiri,  atau  saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas
diri mereka  melakukan  perkawinan,  dan  mereka  menganggap
bahwa   kehidupan   yang  ideal  bagi  orang  beriman  ialah
laki-laki  yang  tidak  berhubungan  dengan  perempuan   dan
perempuan  yang  tidak  berhubungan  dengan laki-laki, dalam
bentuk apa pun.

Tidak  dapat  dibayangkan  bagaimana   wanita   akan   hidup
sendirian  dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu
dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu
antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?

"Dan  orang-orangyang  beriman,  laki-laki  dan   perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain..." (at-Taubah: 71)

Telah saya kemukakan pula pada bagian  lain  dari  buku  ini
bahwa  Al-Qur'an  telah  menetapkan  wanita - yang melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan - untuk  "ditahan"  di
rumah  dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman
bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang
dapat  memberikan  kesaksian  kepadanya. Hukuman ini terjadi
sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan  diwajibkannya
hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah  ada  empat  orang  saksi  diantara   kamu   (yang
menyaksikannya).   Kemudian  apabila  mereka  telah  memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)  dalam
rumah  sampai  mereka  menemui  ajalnya,  atau  sampai Allah
memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)

Hakikat lain yang wajib diingat di sini -  berkenaan  dengan
kebutuhan  timbal  balik antara laki-laki dengan perempuan -
bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah  masing-masing
dari  kedua  jenis  manusia  ini  rasa ketertarikan terhadap
lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati  yang  instinktif.
Dengan  adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan
(perkawinan),  dan   reproduksi,   sehingga   terpeliharalah
kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.

Kita   tidak   boleh  melupakan  hakikat  ini,  ketika  kita
membicarakan  hubungan  laki-laki  dengan   perempuan   atau
perempuan   dengan  laki-laki.  Kita  tidak  dapat  menerima
pernyataan sebagian  orang  yang  mengatakan  bahwa  dirinya
lebih   tangguh  sehingga  tidak  mungkin  terpengaruh  oleh
syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.

Dalam kaitan ini, baiklah kita  bahas  secara  satu  persatu
antara  hukum  memandang  laki-laki  terhadap  perempuan dan
perempuan terhadap laki-laki.

               LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN

Bagian pertama dari  pernyataan  ini  sudah  kami  bicarakan
dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya
memakai cadar, dan kami  menguatkan  pendapat  jumhur  ulama
yang menafsirkan firman Allah:

"...  Dan  janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu  ialah
"wajah  dan  telapak  tangan." Dengan demikian, wanita boleh
menampakkan wajahnya dan  kedua  telapak  tangannya,  bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila  wanita  boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka
dan  tangan/kakinya),  maka   bolehkah   laki-laki   melihat
kepadanya ataukah tidak?

Pandangan  pertama  (secara  tiba-tiba)  adalah  tidak dapat
dihindari sehingga dapat dihukumi  sebagai  darurat.  Adapun
pandangan  berikutnya  (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh
para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi  ialah  melihat
dengan  menikmati  (taladzdzudz)  dan bersyahwat, karena ini
merupakan pintu bahaya dan  penyulut  api.  Sebab  itu,  ada
ungkapan,  "memandang  merupakan  pengantar  perzinaan." Dan
bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal  memandang
yang dilarang ini, yakni:

"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan
salam,  lalu  bercakap-cakap,  kemudian  berjanji,  akhirnya
bertemu."

Adapun  melihat  perhiasan  (bagian  tubuh) yang tidak biasa
tampak,  seperti  rambut,  leher,  punggung,  betis,  lengan
(bahu),  dan  sebagainya,  adalah  tidak  diperbolehkan bagi
selain mahram, menurut ijma. Ada  dua  kaidah  yang  menjadi
acuan  masalah  ini beserta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.

Pertama,  bahwa  sesuatu  yang  dilarang  itu  diperbolehkan
ketika   darurat  atau  ketika  dalam  kondisi  membutuhkan,
seperti  kebutuhan  berobat,  melahirkan,  dan   sebagainya,
pembuktikan  tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan
dan  menjadi  keharusan,  baik  untuk  perseorangan   maupun
masyarakat.

Kedua,  bahwa  apa  yang diperbolehkan itu menjadi terlarang
apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah,  baik  kekhawatiran
itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila
terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan
dan  khayalan  sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu
terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak  pamannya
yang   bernama  al-Fadhl  bin  Abbas,  dari  melihat  wanita
Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl
berlama-lama  memandang  wanita  itu.  Dalam  suatu  riwayat
disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada  Rasulullah  saw.,
"Mengapa  engkau  palingkan  muka anak pamanmu?" Beliau saw.
menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan  seorang  pemudi,
maka  saya  tidak  merasa  aman akan gangguan setan terhadap
mereka."

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada  hati
nurani  si  muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa,
baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya,
fitnah  itu  tidak  dikhawatirkan  terjadi  jika  hati dalam
kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat
(kesamaran),  dan  tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.

               WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI

Diantara hal  yang  telah  disepakati  ialah  bahwa  melihat
kepada  aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun
tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba,  tanpa
sengaja,  sebagaimana  diriwayatkan  dalam hadits sahih dari
Jarir bin Abdullah, ia berkata:

"Saya bertanya kepada Nabi  saw.  Tentang  memandang  (aurat
orang  lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau
bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian  mana  saja  yang
disebut aurat laki-laki?

Kemaluan  adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah
disepakati akan keharaman membukanya di hadapan  orang  lain
dan  haram  pula  melihatnya,  kecuali dalam kondisi darurat
seperti berobat  dan  sebagainya.  Bahkan  kalau  aurat  ini
ditutup   dengan   pakaian  tetapi  tipis  atau  menampakkan
bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha  laki-laki  termasuk
aurat,  dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut.
Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang
tidak  lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian  lagi  mengesahkannya   karena   banyak   jalannya,
walaupun  masing-masing  hadits  itu  tidak  dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa  paha  laki-laki  itu
bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah
saw.  pernah  membuka  pahanya  dalam  beberapa  kesempatan.
Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut    mazhab   Maliki   sebagaimana   termaktub   dalam
kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki  ialah
qubul  (kemaluan)  dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka
dengan sengaja membatalkan shalat.

Para   fuqaha   hadits   berusaha   mengompromikan    antara
hadits-hadits  yang  bertentangan  itu  sedapat mungkin atau
mentarjih   (menguatkan   salah   satunya).   Imam   Bukhari
mengatakan   dalam   kitab   sahihnya  "Bab  tentang  Paha,"
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy
dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi
saw. pernah membuka pahanya." Hadits  Anas  ini  lebih  kuat
sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2



Syaukani,    dalam    kitabnya   Nailul   Athar   menanggapi
hadits-hadits yang  mengatakan  paha  sebagai  aurat,  bahwa
hadits-hadits  itu  hanya  menceritakan keadaan (peristiwa),
tidak bersifat umum.

Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan  dalam  Tahdzibut
Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:

"Jalan  mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang
dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad  dan  lainnya  bahwa
aurat  itu  ada  dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci])
dan mughallazhah  (berat/besar).  Aurat  mughallazhah  ialah
qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha, dan
tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan
dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan membukanya
karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a'lam."

Dalam hal  ini  terdapat  rukhshah  (keringanan)  bagi  para
olahragawan  dan  sebagainya  yang  biasa  mengenakan celana
pendek, termasuk bagi penontonnya,  begitu  juga  bagi  para
pandu  (pramuka)  dan  pecinta alam. Meskipun demikian, kaum
muslim    berkewajiban    menunjukkan    kepada    peraturan
internasional  tentang  ciri  khas kostum umat Islam dan apa
yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.

Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat,  baik
oleh   perempuan  maupun  sesama  laki-laki.  Ini  merupakan
masalah yang sangat jelas.

Adapun terhadap  bagian  tubuh  yang  tidak  termasuk  aurat
laki-laki,  seperti  wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan
sebagainya,  menurut  pendapat  yang  sahih  boleh  dilihat,
selama  tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat,  dan  ini
diperlihatkan  oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan
generasi sesudahnya, juga  diperkuat  oleh  beberapa  hadits
sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.

Sebagian  fuqaha  lagi  berpendapat  tidak  bolehnya  wanita
memandang laki-laki secara  umum,  dengan  alasan  apa  yang
dikemukakan  oleh  saudara  penanya  dalam  pertanyaannya di
atas.

Adapun hadits  Fatimah  r.a.  di  atas  tidak  ada  nilainya
dilihat  dari  sisi  ilmu. Saya tidak melihat satu pun kitab
dari kitab-kitab dalil hukum yang  memuat  hadits  tersebut,
dan  tidak  ada  seorang  pun ahli fiqih yang menggunakannya
sebagai dalil. Orang-orang yang sangat ketat melarang wanita
melihat  laki-laki pun tidak menyebutkan hadits tersebut. Ia
hanya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.

Dalam  mentakhrij  hadits  ini   Imam   al-Ilraqi   berkata,
"Diriwayatkan  oleh  al-Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab
al-Afrad dari hadits Ali dengan sanad  yang  dhatif."  (Ihya
Ulumuddin,  kitab  an-Nikah,  Bab  Adab  al-Mu'asyarah.  Dan
disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid 2:202  dan
beliau  berkata,  "Diriwayatkan  oleh  al-Bazzar,  dan dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak saya kenal."

Adapun hadits yang satu lagi (hadits Ummu  Salamah,  seperti
disebutkan   penanya;   ed.)   kami   temukan   penolakannya
sebagaimana disebutkan oleh  Ibnu  Qudamah  dalam  meringkas
pendapat  mengenai masalah tersebut. Beliau mengatakan dalam
kitab al-Mughni yang ringkasannya sebagai berikut:

"Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini
terdapat  dua  riwayat.  Pertama, ia boleh melihat laki-laki
asal tidak pada auratnya.  Kedua,  ia  tidak  boleh  melihat
laki-laki  melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh
melihatnya. Pendapat ini yang dipilih  oleh  Abu  Bakar  dan
merupakan  salah  satu  pendapat di antara dua pendapat Imam
Syafi'i.

Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu  Salamah,
yang berkata:

"Aku  pernah duduk di sebelah Nabi saw., tiba-tiba Ibnu Ummi
Maktum meminta izin  masuk.  Kemudian  Nabi  saw.  bersabda,
'Berhijablah   kamu   daripadanya.   'Aku   berkata,   Wahai
Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada
bertanya,  'Apakah  kamu  berdua (Ummu Salamah dan Maimunah;
penj.) juga buta dan tidak melihatnya?" ( HR Abu  Daud.  dan
lain-lain)

Larangan   bagi   wanita   untuk   melihat  aurat  laki-laki
didasarkan  pada  hipotesis  bahwa  Allah  menyuruh   wanita
menundukkan  pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki
berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa  wanita
itu  adalah  salah  satu dari dua jenis anak Adam (manusia),
sehingga  mereka  haram  melihat  (aurat)  lawan   jenisnya.
Haramnya  bagi  wanita  ini  dikiaskan  pada laki-laki (yang
diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).

Alasan utama diharamkannya melihat itu karena  dikhawatirkan
teriadinya  fitnah.  Bahkan,  kekhawatiran  ini  pada wanita
lebih besar lagi, sebab wanita itu  lebih  besar  syahwatnya
dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.

Nabi saw. bersabda kepada Fatimah binti Qais:

"Beriddahlah  enkau  di  rumah  Ibnu Ummi Maktum, karena dia
seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan
dia tidak melihatmu."3 (Muttafaq alaih)

Aisyah berkata:

"Adalah  Rasulullah  saw.  melindungiku  dengan selendangnya
ketika aku melihat orang-orang  Habsyi  sedang  bernain-main
(tontonan olah raga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)

Dalam  riwayat  lain  disebutkan, pada waktu Rasulullah saw.
selesai berkhutbah shalat  Id,  beliau  menuju  kepada  kaum
wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada
mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.

Seandainya  wanita  dilarang  melihat   laki-laki,   niscaya
laki-laki   juga   diwajibkan  berhijab  sebagaimana  wanita
diwajibkan berhijab,4  supaya  mereka  tidak  dapat  melihat
laki-laki.

Adapun  mengenai hadits Nabhan (hadits kedua yang ditanyakan
si penanya; ed.), Imam Ahmad berkata,  "Nabhan  meriwayatkan
dua buah hadits aneh (janggal), yakni hadits ini dan hadits,
"Apabila salah seorang  di  antara  kamu  mempunyai  mukatab
(budak  yang  mengadakan  perjanjian  dengan  tuannya  untuk
menebus dirinya), maka hendaklah ia  berhijab  daripadanya."
Dari  pernyataan  ini  seakan-akan Imam Ahmad mengisyaratkan
kelemahan  hadits  Nabhan   tersebut,   karena   dia   tidak
meriwayatkan selain dua buah hadits yang bertentangan dengan
ushul ini.

Ibnu Abdil  Barr  berkata,  "Nabhan  itu  majhul,  ia  tidak
dikenal  melainkan  melalui riwayat az-Zuhri terhadap hadits
ini; sedangkan hadits  Fatimah  itu  sahih,  maka  berhujjah
dengannya adalah suatu keharusan."

Kemudian Ibnu Abdil Barr memberikan kemungkinan bahwa hadits
Nabhan itu khusus untuk istri-istri Nabi saw.

Demikianlah yang dikatakan Imam Ahmad dan Abu Daud.

Al-Atsram  berkata,  "Aku  bertanya  kepada  Abi   Abdillah,
'Hadits  Nabhan ini tampaknya khusus untuk istri-istri Nabi,
sedangkan hadits  Fatimah  untuk  semua  manusia?     Beliau
menjawab, 'Benar.'5

Kalaupun   hadits-hadits  ini  dianggap  bertentangan,  maka
mendahulukan hadits yang  sahih  itu  lebih  utama  daripada
mengambil  hadits  mufrad  (diriwayatkan  oleh perseorangan)
yang dalam isnadnya terdapat  pembicaraan."  (Ibnu  Qudamah,
al-Mughni 6:563-564).

Jadi,  memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak
dibarengi dengan  upaya  "menikmati"  dan  bersyahwat.  Jika
dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena
itu,  Allah  menyuruh  kaum  mukminah  menundukkan  sebagian
pandangannya  sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan
sebagian pandangannya. Firman Allah:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka
menahan   pendangannya,  dan  memelihara  kemaluannya;  yang
demikian itu adalah lebih  suci  bagi  mereka.  Sesungguhnya
Allah  Maha  Mengetahui  apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada  wanita  yang  beriman,  'Hendaklah  mereka   menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur: 30-31 )

Memang   benar  bahwa  wanita  dapat  membangkitkan  syahwat
laki-laki  lebih  banyak  daripada  laki-laki  membangkitkan
syahwat  wanita,  dan memang benar bahwa wanita lebih banyak
menarik laki-laki,  serta  wanitalah  yang  biasanya  dicari
laki-laki.  Namun, semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa
di antara laki-laki ada  yang  menarik  pandangan  dan  hati
wanita   karena   kegagahan,  ketampanan,  keperkasaan,  dan
kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain  yang  menarik
pandangan dan hati perempuan.

Al-Qur'an   telah   menceritakan  kepada  kita  kisah  istri
pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang  telah
menjadikannya  dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu
mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana
dia  menggoda  Yusuf  untuk  menundukkannya  seraya berkata,
"Marilah ke sini." Yusuf  berkata,  "Aku  berlindung  kepada
Allah." (An-Nur: 23)

Al-Qur'an  juga menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita
kota ketika  pertama  kali  mereka  melihat  ketampanan  dan
keelokan serta keperkasaan Yusuf:

"Maka   tatkala  wanita  itu  (Zulaikha)  mendengar  cercaan
mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu  dan  disediakannya
bagi   mereka   tempat   duduk   dan   diberikannya   kepada
masing-masing mereka sebuah pisau (untuk  memotong  jamuan),
kemudian    dia    berkata    (kepada   Yusut),   'Keluarlah
(tampakkanlah   dirimu)   kepada   mereka.'   Maka   tatkala
wanita-wanita  itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan
rupa)-nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan  berkata,
'Maha  sempuma Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini
hanyalah malaikat yang mulia.' Wanita itu  berkata,  'Itulah
orang  yang  kamu  cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan
sesungguhnya  aku  telah  menggoda  dia  untuk   menundukkan
dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya
jika dia tidak menaati apa yang aku  perintahkan  kepadanya,
niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan
orang-orang yang hina." (Yusuf: 31-32)

Apabila  seorang  wanita  melihat  laki-laki  lantas  timbul
hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya.
Janganlah ia terus  memandangnya,  demi  menjauhi  timbulnya
fitnah,  dan  bahaya  itu  akan bertambah besar lagi bila si
laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta  dan  syahwat.
Pandangan  seperti  inilah  yang dinamakan dengan "pengantar
zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis yang  beracun,"
dan ini pula yang dikatakan oleh penyair:

"Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari memandang. Dan
api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil."

Akhirnya,  untuk  mendapat  keselamatan,  lebih  baik   kita
menjauhi   tempat-tempat   dan   hal-hal  yang  mendatangkan
keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah  keselamatan
dalam urusan agama dan dunia. Amin.

Catatan kaki:

1 Takhrijnya akan dibicarakan nanti.
2 Perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari men-ta'liq-kan
  (menyebutkan hadits secara langsung tanpa menyebutkan
  nama orang yang menyampaikan kepadanya) dengan menggunakan
  bentuk kata ruwiya (diriwayatkan), yang menunjukkan bahwa
  riwayat itu dha'if menurut beliau, sebagaimana dijelaskan
  dalam biografi beliau.
3 Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Karena aku (Nabi saw.)
  tidak suka kerudungmu jatuh dari tubuhmu arau tersingkap
  betismu, lantas ada sebagian tubuhmu yang dilihat orang
  lain, yang engkau tidak menyukainya."
  Ini dimaksudkan bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah
  lembut kepadanya dan hendak memberinya kemudahan sehingga
  dia sepanjang hari tidak menutup seluruh tubuhnya terus
  menerus kalau ia bertempat tinggal di rumah ummu Syuraik
  yang banyak tamunya. Sedangkan Ibnu ummi Maktum yang tuna
  netra itu tidak mungkin dapat melihatnya, sehingga dengan
  demikian dia mendapatkan sedikit keringanan.
4 Kalau yang dimaksud dengan "hijab" di sini ialah memakai
  cadar dan menutup wajah, maka hal ini perlu dikaji, dan kami
  telah memberikan penolakan secara rinci dalam fatwa kami
  tentang "Apakah Cadar itu Wajib?"
5 Setelah meriwayatkan hadits ini Abu Daud berkata, "Ini
  adalah untuk istri-istri Nabi saw, secara khusus, apakah
  tidak Anda perhatikan ber'iddahnya Fatimah binti Qais di
  sisi Ibnu Ummi Maktum?." Lihat Sunnan Abi Daud, hadits nomor
  4115.
Sumber : http://media.isnet.org/islam/Wanita/




0 komentar:

Posting Komentar

 

Yohana Pitaloka Template by Ipietoon Cute Blog Design