memandang
perempuan, malah lebih
khusus lagi, perempuan
memandang laki-laki Sebab,
kami pernah mendengar
dari
seorang
penceramah bahwa wanita itu tidak boleh memandang
laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah
tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.
Pertama, bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya,
Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi
wanita?" Fatimah
menjawab,
"janganlah ia memandang
laki-laki dan jangan ada
laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw.
menciumnya
seraya berkata,
"Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan
dari yang lain).1
Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata,
"Saya pernah
berada di sisi
Rasulullah saw. dan di sebelah
beliau ada
Maimunah,
kemudian Ibnu Ummi
Maktum datang menghadap.
Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab.
Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian
daripadanya!"
Lalu kami berkata,
"Wahai Rasulullah, bukankah
dia
tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau
menjawab,
"Apakah
kalian juga tuna
netra?" Bukankah kalian dapat
melihatnya?" (HR Abu Daud dan Tirmidzi.
Beliau (Tirmidzi)
berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2
Pertanyaan saya, bagaimana
mungkin wanita tidak melihat
laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih pada
zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih
dan apa maksudnya?
Saya harap Ustadz tidak mengabaikan surat
saya, dan saya
mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah
ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang
terus saja memperdebatkan masalah
ini dengan tidak ada
ujungnya.
Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.
JAWABAN
Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan,
bahkan menciptakan
alam semesta ini pun berpasang-pasangan,
sebagaimana firman-Nya:
"Maha Suci
Allah yang telah
menciptakan pasang-pasangan
semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun
dari apa yang
tidak mereka ketahui"
(Yasin: 36)
"Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat:
49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini,
manusia
diciptakan
berpasang-pasangan, terdiri dari
jenis
laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan
manusia dapat
berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik
antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai
fitrah Allah
untuk manusia.
Setelah menciptakan
Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk
Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya,
begitu pula si istri
merasa tenang hidup bersamanya. Sebab,
secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam)
dapat merasa
bahagia jika hanya
seorang diri, walaupun dalam
surga ia
dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya
singgung di muka
bahwa taklif ilahi
(tugas dari Allah)
yang pertama adalah ditujukan kepada
kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama,
yakni Adam
dan istrinya:
"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga
ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak
lagi baik dimana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon
ini,
yang menyebabkan
kamu termasuk orang-orang
yang zalim."
(al-Baqarah: 35)
Maka hiduplah mereka
didalam surga bersama-sama, kemudian
memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada
Allah
bersama-sama,
turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan
taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:
"Allah
beffirman, Turunlah kamu
berdua dari surga
bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka jika datang
kepadamu petunjuk dari-Ku,
lalu
barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)
Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki selalu
membutuhkan
perempuan, tidak dapat
tidak; dan perempuan
selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat tidak.
"Sebagian
kamu adalah dari
sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas
keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.
Karena itu, tidaklah
dapat dibayangkan seorang
laki-laki
akan hidup sendirian,
jauh dari perempuan, tidak
melihat
perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah
keluar dari keseimbangan
fitrah dan menjauhi kehidupan,
sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin
kaum
Nasrani. Mereka adakan
ikatan yang sangat ketat terhadap
diri mereka dalam kependetaan ini yang
tidak diakui oleh
fitrah yang sehat
dan syariat yang lulus, sehingga mereka
lari dari perempuan,
meskipun mahramnya sendiri,
ibunya
sendiri, atau saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas
diri mereka
melakukan perkawinan, dan
mereka menganggap
bahwa kehidupan yang
ideal bagi orang
beriman ialah
laki-laki yang tidak
berhubungan dengan perempuan
dan
perempuan yang tidak
berhubungan dengan laki-laki,
dalam
bentuk apa pun.
Tidak dapat dibayangkan
bagaimana wanita akan
hidup
sendirian dengan
menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu
dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu
antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?
"Dan
orang-orangyang beriman, laki-laki
dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain..." (at-Taubah: 71)
Telah saya kemukakan pula pada bagian lain
dari buku ini
bahwa Al-Qur'an telah
menetapkan wanita - yang
melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan - untuk "ditahan" di
rumah dengan tidak
boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman
bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang
dapat memberikan kesaksian
kepadanya. Hukuman ini terjadi
sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan diwajibkannya
hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan
keji,
hendaklah ada empat
orang saksi diantara
kamu (yang
menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka
telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka
menemui ajalnya, atau
sampai Allah
memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini - berkenaan
dengan
kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan -
bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing
dari kedua jenis
manusia ini rasa ketertarikan terhadap
lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang
instinktif.
Dengan adanya fitrah
ketertarikan ini, terjadilah pertemuan
(perkawinan),
dan reproduksi, sehingga
terpeliharalah
kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Kita tidak boleh
melupakan hakikat ini,
ketika kita
membicarakan
hubungan laki-laki dengan
perempuan atau
perempuan
dengan laki-laki. Kita
tidak dapat menerima
pernyataan sebagian orang yang
mengatakan bahwa dirinya
lebih tangguh sehingga
tidak mungkin terpengaruh
oleh
syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas
secara satu persatu
antara hukum memandang
laki-laki terhadap perempuan dan
perempuan terhadap laki-laki.
LAKI-LAKI
MEMANDANG PEREMPUAN
Bagian pertama dari
pernyataan ini sudah
kami bicarakan
dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya
memakai cadar, dan kami
menguatkan pendapat jumhur
ulama
yang menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah
"wajah dan telapak
tangan." Dengan demikian, wanita boleh
menampakkan wajahnya dan
kedua telapak tangannya,
bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka
dan
tangan/kakinya), maka bolehkah
laki-laki melihat
kepadanya ataukah tidak?
Pandangan
pertama (secara tiba-tiba)
adalah tidak dapat
dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai
darurat. Adapun
pandangan
berikutnya (kedua)
diperselisihkan hukumnya oleh
para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah
melihat
dengan menikmati (taladzdzudz)
dan bersyahwat, karena ini
merupakan pintu bahaya dan
penyulut api. Sebab
itu, ada
ungkapan,
"memandang merupakan pengantar
perzinaan." Dan
bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang
yang dilarang ini, yakni:
"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas
mengucapkan
salam, lalu bercakap-cakap, kemudian
berjanji, akhirnya
bertemu."
Adapun melihat perhiasan
(bagian tubuh) yang tidak biasa
tampak, seperti rambut,
leher, punggung, betis,
lengan
(bahu), dan sebagainya,
adalah tidak diperbolehkan bagi
selain mahram, menurut ijma. Ada dua
kaidah yang menjadi
acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu
yang dilarang itu
diperbolehkan
ketika darurat atau
ketika dalam kondisi
membutuhkan,
seperti
kebutuhan berobat, melahirkan,
dan sebagainya,
pembuktikan tindak
pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan
dan menjadi keharusan,
baik untuk perseorangan
maupun
masyarakat.
Kedua, bahwa apa
yang diperbolehkan itu menjadi terlarang
apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik
kekhawatiran
itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila
terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan
dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu
terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya
yang bernama al-Fadhl
bin Abbas, dari
melihat wanita
Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl
berlama-lama
memandang wanita itu.
Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah
saw.,
"Mengapa
engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw.
menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang
pemudi,
maka saya tidak
merasa aman akan gangguan setan
terhadap
mereka."
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati
nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima
fatwa,
baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya,
fitnah itu tidak
dikhawatirkan terjadi jika
hati dalam
kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat
(kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.
WANITA
MEMANDANG LAKI-LAKI
Diantara hal
yang telah disepakati
ialah bahwa melihat
kepada aurat itu
hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun
tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa
sengaja,
sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari
Jarir bin Abdullah, ia berkata:
"Saya bertanya kepada Nabi saw.
Tentang memandang (aurat
orang lain) secara
tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau
bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)
Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana
saja yang
disebut aurat laki-laki?
Kemaluan adalah aurat
mughalladhah (besar/berat) yang telah
disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang
lain
dan haram pula
melihatnya, kecuali dalam kondisi
darurat
seperti berobat
dan sebagainya. Bahkan
kalau aurat ini
ditutup dengan pakaian
tetapi tipis atau
menampakkan
bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki
termasuk
aurat, dan aurat laki-laki
ialah antara pusar dengan lutut.
Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang
tidak lepas dari
cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian lagi mengesahkannya karena
banyak jalannya,
walaupun
masing-masing hadits itu
tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha
laki-laki itu
bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah
saw. pernah membuka
pahanya dalam beberapa
kesempatan.
Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Menurut mazhab Maliki
sebagaimana termaktub dalam
kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah
qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka
dengan sengaja membatalkan shalat.
Para fuqaha hadits
berusaha mengompromikan antara
hadits-hadits
yang bertentangan itu
sedapat mungkin atau
mentarjih
(menguatkan salah satunya).
Imam Bukhari
mengatakan
dalam kitab sahihnya
"Bab tentang Paha,"
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy
dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata,
"Nabi
saw. pernah membuka pahanya." Hadits Anas
ini lebih kuat
sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2
Syaukani,
dalam kitabnya Nailul
Athar menanggapi
hadits-hadits yang
mengatakan paha sebagai
aurat, bahwa
hadits-hadits
itu hanya menceritakan keadaan (peristiwa),
tidak bersifat umum.
Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan dalam Tahdzibut
Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:
"Jalan
mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang
dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad dan
lainnya bahwa
aurat itu ada
dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci])
dan mughallazhah (berat/besar). Aurat
mughallazhah ialah
qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha,
dan
tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan
pandangan
dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan
membukanya
karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a'lam."
Dalam hal ini terdapat
rukhshah (keringanan) bagi
para
olahragawan
dan sebagainya yang
biasa mengenakan celana
pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu
juga bagi para
pandu
(pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum
muslim
berkewajiban menunjukkan kepada
peraturan
internasional
tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa
yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.
Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram
dilihat, baik
oleh
perempuan maupun sesama
laki-laki. Ini merupakan
masalah yang sangat jelas.
Adapun terhadap
bagian tubuh yang
tidak termasuk aurat
laki-laki,
seperti wajah, rambut, lengan,
bahu, betis, dan
sebagainya,
menurut pendapat yang
sahih boleh dilihat,
selama tidak
disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan
ini
diperlihatkan oleh
praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan
generasi sesudahnya, juga
diperkuat oleh beberapa
hadits
sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.
Sebagian
fuqaha lagi berpendapat
tidak bolehnya wanita
memandang laki-laki secara
umum, dengan alasan
apa yang
dikemukakan
oleh saudara penanya
dalam pertanyaannya di
atas.
Adapun hadits
Fatimah r.a. di
atas tidak ada
nilainya
dilihat dari sisi
ilmu. Saya tidak melihat satu pun kitab
dari kitab-kitab dalil hukum yang memuat
hadits tersebut,
dan tidak ada
seorang pun ahli fiqih yang
menggunakannya
sebagai dalil. Orang-orang yang sangat ketat melarang
wanita
melihat laki-laki
pun tidak menyebutkan hadits tersebut. Ia
hanya dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin.
Dalam
mentakhrij hadits ini
Imam al-Ilraqi berkata,
"Diriwayatkan
oleh al-Bazzar dan
ad-Daruquthni dalam kitab
al-Afrad dari hadits Ali dengan sanad yang
dhatif." (Ihya
Ulumuddin,
kitab an-Nikah, Bab
Adab al-Mu'asyarah. Dan
disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid
2:202 dan
beliau
berkata, "Diriwayatkan oleh
al-Bazzar, dan dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak saya kenal."
Adapun hadits yang satu lagi (hadits Ummu Salamah,
seperti
disebutkan
penanya; ed.) kami
temukan penolakannya
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Qudamah dalam meringkas
pendapat mengenai
masalah tersebut. Beliau mengatakan dalam
kitab al-Mughni yang ringkasannya sebagai berikut:
"Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam
hal ini
terdapat dua riwayat.
Pertama, ia boleh melihat laki-laki
asal tidak pada auratnya.
Kedua, ia tidak
boleh melihat
laki-laki melainkan
hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh
melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh
Abu Bakar dan
merupakan
salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam
Syafi'i.
Hal ini didasarkan pada riwayat az-Zuhri dari Ummu Salamah,
yang berkata:
"Aku pernah
duduk di sebelah Nabi saw., tiba-tiba Ibnu Ummi
Maktum meminta izin
masuk. Kemudian Nabi
saw. bersabda,
'Berhijablah
kamu daripadanya. 'Aku
berkata, Wahai
Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan
nada
bertanya,
'Apakah kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah;
penj.) juga buta dan tidak melihatnya?" ( HR Abu Daud.
dan
lain-lain)
Larangan bagi wanita
untuk melihat aurat
laki-laki
didasarkan
pada hipotesis bahwa
Allah menyuruh wanita
menundukkan
pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki
berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita
itu adalah salah
satu dari dua jenis anak Adam (manusia),
sehingga mereka haram
melihat (aurat) lawan
jenisnya.
Haramnya bagi wanita
ini dikiaskan pada laki-laki (yang
diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).
Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan
teriadinya
fitnah. Bahkan, kekhawatiran ini
pada wanita
lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih
besar syahwatnya
dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.
Nabi saw. bersabda kepada Fatimah binti Qais:
"Beriddahlah
enkau di rumah
Ibnu Ummi Maktum, karena dia
seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu
sedangkan
dia tidak melihatmu."3 (Muttafaq alaih)
Aisyah berkata:
"Adalah
Rasulullah saw. melindungiku dengan selendangnya
ketika aku melihat orang-orang Habsyi
sedang bernain-main
(tontonan olah raga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)
Dalam riwayat lain
disebutkan, pada waktu Rasulullah saw.
selesai berkhutbah shalat
Id, beliau menuju
kepada kaum
wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan
kepada
mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.
Seandainya
wanita dilarang melihat
laki-laki, niscaya
laki-laki
juga diwajibkan berhijab
sebagaimana wanita
diwajibkan berhijab,4
supaya mereka tidak
dapat melihat
laki-laki.
Adapun mengenai
hadits Nabhan (hadits kedua yang ditanyakan
si penanya; ed.), Imam Ahmad berkata, "Nabhan meriwayatkan
dua buah hadits aneh (janggal), yakni hadits ini dan
hadits,
"Apabila salah seorang di
antara kamu mempunyai
mukatab
(budak yang mengadakan
perjanjian dengan tuannya
untuk
menebus dirinya), maka hendaklah ia berhijab
daripadanya."
Dari
pernyataan ini seakan-akan Imam Ahmad mengisyaratkan
kelemahan
hadits Nabhan tersebut,
karena dia tidak
meriwayatkan selain dua buah hadits yang bertentangan
dengan
ushul ini.
Ibnu Abdil
Barr berkata, "Nabhan itu
majhul, ia tidak
dikenal
melainkan melalui riwayat
az-Zuhri terhadap hadits
ini; sedangkan hadits
Fatimah itu sahih,
maka berhujjah
dengannya adalah suatu keharusan."
Kemudian Ibnu Abdil Barr memberikan kemungkinan bahwa
hadits
Nabhan itu khusus untuk istri-istri Nabi saw.
Demikianlah yang dikatakan Imam Ahmad dan Abu Daud.
Al-Atsram
berkata, "Aku bertanya
kepada Abi Abdillah,
'Hadits Nabhan ini
tampaknya khusus untuk istri-istri Nabi,
sedangkan hadits
Fatimah untuk semua
manusia? Beliau
menjawab, 'Benar.'5
Kalaupun
hadits-hadits ini dianggap
bertentangan, maka
mendahulukan hadits yang
sahih itu lebih
utama daripada
mengambil
hadits mufrad (diriwayatkan oleh perseorangan)
yang dalam isnadnya terdapat pembicaraan." (Ibnu
Qudamah,
al-Mughni 6:563-564).
Jadi, memandang itu
hukumnya boleh dengan syarat jika tidak
dibarengi dengan
upaya
"menikmati" dan bersyahwat.
Jika
dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram.
Karena
itu, Allah menyuruh
kaum mukminah menundukkan
sebagian
pandangannya
sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan
sebagian pandangannya. Firman Allah:
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah
mereka
menahan
pendangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka.
Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada wanita yang
beriman, 'Hendaklah mereka
menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya.'" (an-Nur:
30-31 )
Memang benar bahwa
wanita dapat membangkitkan syahwat
laki-laki
lebih banyak daripada
laki-laki membangkitkan
syahwat
wanita, dan memang benar bahwa
wanita lebih banyak
menarik laki-laki,
serta wanitalah yang
biasanya dicari
laki-laki. Namun,
semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa
di antara laki-laki ada
yang menarik pandangan
dan hati
wanita karena kegagahan,
ketampanan, keperkasaan, dan
kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang
menarik
pandangan dan hati perempuan.
Al-Qur'an
telah menceritakan kepada
kita kisah istri
pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah
menjadikannya
dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu
mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta
bagaimana
dia menggoda Yusuf
untuk menundukkannya seraya berkata,
"Marilah ke sini." Yusuf berkata,
"Aku berlindung kepada
Allah." (An-Nur: 23)
Al-Qur'an juga
menceritakan kepada kita sikap wanita-wanita
kota ketika
pertama kali mereka
melihat ketampanan dan
keelokan serta keperkasaan Yusuf:
"Maka
tatkala wanita itu
(Zulaikha) mendengar cercaan
mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan
disediakannya
bagi mereka tempat
duduk dan diberikannya kepada
masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong
jamuan),
kemudian dia berkata
(kepada Yusut), 'Keluarlah
(tampakkanlah
dirimu) kepada mereka.'
Maka tatkala
wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan
rupa)-nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata,
'Maha sempuma
Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini
hanyalah malaikat yang mulia.' Wanita itu berkata,
'Itulah
orang yang kamu
cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan
sesungguhnya
aku telah menggoda
dia untuk menundukkan
dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan
sesungguhnya
jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan
kepadanya,
niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan
orang-orang yang hina." (Yusuf: 31-32)
Apabila
seorang wanita melihat
laki-laki lantas timbul
hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan
pandangannya.
Janganlah ia terus
memandangnya, demi menjauhi
timbulnya
fitnah, dan bahaya
itu akan bertambah besar lagi
bila si
laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan
syahwat.
Pandangan
seperti inilah yang dinamakan dengan "pengantar
zina" dan yang disifati sebagai "panah iblis
yang beracun,"
dan ini pula yang dikatakan oleh penyair:
"Semua peristiwa (perzinaan) itu bermula dari
memandang. Dan
api yang besar itu berasal dari percikan api yang
kecil."
Akhirnya,
untuk mendapat keselamatan, lebih
baik kita
menjauhi
tempat-tempat dan hal-hal
yang mendatangkan
keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah keselamatan
dalam urusan agama dan dunia. Amin.
Catatan kaki:
1 Takhrijnya akan dibicarakan nanti.
2 Perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari men-ta'liq-kan
(menyebutkan
hadits secara langsung tanpa menyebutkan
nama orang yang
menyampaikan kepadanya) dengan menggunakan
bentuk kata ruwiya
(diriwayatkan), yang menunjukkan bahwa
riwayat itu dha'if
menurut beliau, sebagaimana dijelaskan
dalam biografi
beliau.
3 Dalam riwayat Muslim dikatakan, "Karena aku (Nabi
saw.)
tidak suka
kerudungmu jatuh dari tubuhmu arau tersingkap
betismu, lantas
ada sebagian tubuhmu yang dilihat orang
lain, yang engkau
tidak menyukainya."
Ini dimaksudkan
bahwa Rasulullah saw. bersikap lemah
lembut kepadanya
dan hendak memberinya kemudahan sehingga
dia sepanjang hari
tidak menutup seluruh tubuhnya terus
menerus kalau ia
bertempat tinggal di rumah ummu Syuraik
yang banyak
tamunya. Sedangkan Ibnu ummi Maktum yang tuna
netra itu tidak
mungkin dapat melihatnya, sehingga dengan
demikian dia
mendapatkan sedikit keringanan.
4 Kalau yang dimaksud dengan "hijab" di sini
ialah memakai
cadar dan menutup
wajah, maka hal ini perlu dikaji, dan kami
telah memberikan
penolakan secara rinci dalam fatwa kami
tentang
"Apakah Cadar itu Wajib?"
5 Setelah meriwayatkan hadits ini Abu Daud berkata,
"Ini
adalah untuk
istri-istri Nabi saw, secara khusus, apakah
tidak Anda
perhatikan ber'iddahnya Fatimah binti Qais di
sisi Ibnu Ummi
Maktum?." Lihat Sunnan Abi Daud, hadits nomor
4115.
Sumber : http://media.isnet.org/islam/Wanita/
|
0 komentar:
Posting Komentar